Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Minggu, 30 Oktober 2011

Melarang Buku Radikal Kanan

SELAMA Orde Baru berkuasa bukan hanya buku-buku bernuansa 'kiri' saja yang diawasi atau bahkan dilarang pemerintahan yang berkuasa saat itu, melainkan buku-buku yang kental nuansa 'kanan' pun ikut diawasi, diteliti kemudian dilarang. Modus pelarang buku seperti itu kembali lagi terjadi pada masa sesudah Orde baru tumbang. Aparat penegak hukum seperti kejaksaan bertindak seperti penjaga sekaligus pengawas buku-buku yang dianggap berbahaya. Masalahnya, belum tentu apa yang dikategorikan 'bahaya' oleh kejaksaan itu memang benar berbahaya untuk pembaca. Penentuan sebuah buku itu berbahaya atau tidak, jelas bukan kewenangan kejaksaan, apalagi saat ini warga masyarakat yang sekaligus menjadi pembaca buku yang rajin, tentu mencermati kinerja kejaksaan di bidang lain, seperti pemberantasan korupsi yang tak kunjung usai. Daripada memberi cap sebuah buku berbahaya, pembaca buku tentu lebih menyarankan kepada petugas kejaksaan agar fokus saja pada pemberantasan korupsi.

Minggu, 23 Oktober 2011

Demokratisasi dan Reformasi Sektor Keamanan di Amerika Latin

Judul Buku    : Policing Democracy
Penulis         : Mark Ungar
Penerbit       : The Johns Hopkins University Press
Tebal            : xviii + 389 halaman
Cetakan        : Pertama, 2011

PERBINCANGAN tentang demokrasi dan reformasi sektor keamanan sering harus terjebak ke dalam pertentangan antara keinginan untuk memperbaiki kinerja aparat penegak hukum dan keinginan masyarakat umum agar pemerintah melakukan tindakan segera terhadap berbagai masalah yang ada. Demokrasi memang memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendesak pemerintah melakukan penanganan segera atas permasalahan yang ada, namun seringkali pemerintah sendiri mempunyai skala prioritas penanganan masalah yang bisa berbeda dari keinginan warga masyarakat. Dalam kaitan ini, posisi lembaga legislatif sebenarnya bisa berfungsi mempertemukan dua kutub berbeda di alam demokrasi, meski sayangnya pembangunan demokrasi di negara-negara berkembang justru mengabaikan fungsi legislatif itu.

Apalagi jika kemudian baik legislatif maupun partai politik yang menjadi penyuplai politisi untuk mengisi lembaga tersebut, ternyata mempunyai kualitas serta bobot yang sangat timpang dibanding kemampuan eksekutif dalam menuntaskan berbagai persoalan. Peran partai politik menjadi mandul ketika desakan masyarakat untuk penuntasan persoalan-persoalan nyata pada kenyataannya bukan menjadi prioritas utama. Partai politik yang diidam-idamkan menjadi saluran bagi aspirasi masyarakat justru terjebak ke dalam aksi serta pemikiran sempit berupa pemenuhan kebutuhan keorganisasian belaka. 

Jumat, 21 Oktober 2011

Kenapa Harus Meresensi Buku Berbahasa Inggris?

PERTANYAAN yang sering mengemuka terkait buku-buku yang diresensi dalam blog ini diantaranya adalah kenapa kami memilih meresensi buku-buku berbahasa Inggris. Pertanyaan ini bagi kami tentu sangat wajar mengingat nyaris sebagian besar masyarakat Indonesia masih memandang buku berbahasa Inggris adalah sulit dan tak terjangkau. Kesulitan utama dalam membaca buku berbahasa Inggris tentu terletak pada kemampuan mencerna apa yang dituliskan sang penulis buku.

Kaidah serta tata bahasa Inggris yang berbeda dari bahasa Indonesia tentu menjadikan kita kadang sulit memahami apa maksud dari untaian kalimat dalam buku tersebut. Padahal, kalau kita mau sedikit bersusah-payah untuk membekali diri dengan perangkat tata bahasa yang baik, maka aktivitas membaca buku berbahasa Inggris merupakan sarana yang tepat untuk mempraktekkan tata bahasa yang sudah terkuasai dengan baik. Jika para 'founding fathers' di Republik tercinta ini dulu mampu menguasai dengan baik berbagai bahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris, kenapa kemudian kita menjadi alergi pada bahasa asing? Para 'founding father' itu tentu tidak serta-merta bisa menguasai bahasa Belanda dan Inggris saat mereka masuk ke sekolah.

Kamis, 20 Oktober 2011

Membaca Buku Berbahasa Inggris

MEMBACA buku tentu memberi kenikmatan tersendiri bagi siapa saja yang keranjingan. Seorang penulis buku yang piawai tentu akan selalu menjaga stamina pembacanya. Caranya, dengan menuliskan susunan kalimat yang mudah dicerna dan enak dibaca. Tentu saja, untuk menyusun kalimat semacam itu, seorang penulis harus terus menerus mengasah kemampuannya menuangkan gagasan atau perasaannya dalam bentuk tulisan. Awalnya, memang sulit menuangkan gagasan tersebut ke dalam rangkaian kalimat menawan dan mampu menjadikan pembaca betah membaca halaman demi halaman dan seakan tak mau beranjak dari buku tersebut.

Kita barangkali terbiasa membaca buku berbahasa Indonesia. Baik buku yang ditulis oleh para pengarang Indonesia asli maupun buku hasil terjemahan dari bahasa asing, utamanya dari bahasa Inggris. Tentu bisa dibedakan, antara buku yang ditulis oleh pengarang Indonesia dari buku terjemahan bahasa asing. Contohnya, sebuah buku hasil terjemahan dari bahasa Inggris, kadang-kadang penerjemahan yang dilakukan penerbit Indonesia terbaca belum optimal. Boleh jadi, nuansa kebahasaan yang ada belum tertangkap dengan baik.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Realita Jihad itu Bersifat Fluktuatif dalam Sejarah Muslim



Judul Buku    : Partisans of Allah, Jihad In South Asia
Pengarang     : Ayesha Jalal
Penerbit       : Harvard University Press, AS
Tebal            : xvii + 373 halaman
Cetakan        : Pertama, 2008

----------------------
PERJALANAN kelompok jihadis sering menjadi bahan sorotan publik dan media. Belakangan, sorotan itu semakin meningkat setelah AS berhasil masuk ke wilayah Pakistan dan melakukan serangan mendadak kepada dedengkot al Qaeda, Osama bin Laden. Selanjutnya, AS menerapkan perang lawan teror dengan melibatkan jet tempur tak berawak yang akrab disebut 'drone'. Hasilnya, sejumlah tokoh organisasi radikal di Yaman, Somalia dan beberapa tempat lain, tewas karena serangan 'drone' itu.
-------------------------------

Buku ini hendak menguraikan bagaimana konsep jihad juga tumbuh subur di Asia Selatan. Riset yang dilakukan oleh penulis buku itu memang bertujuan menunjukkan bagaimana liku-liku pertumbuhan kelompok-kelompok jihadis itu, yang boleh jadi tak terintegrasi dengan kelompok serupa di Arab Saudi, Bahrain, Yaman atau Somalia.

Minggu, 25 September 2011

Membongkar Krisis Ganda Ekonomi Liberal

Judul Buku    : Bonfire of Illusions
Pengarang     : Alex Callinicos
Penerbit        : Polity Press, 2010
Tebal             : viii + 179 halaman

Alex Callinicos adalah Profesor Studi Eropa di King's College London, tapi lebih penting lagi dia adalah sosok yang mampu berkomitmen untuk menggunakan analisis Marxis pada kerja kapitalisme pada tataran ekonomi dan politik internasional. Sementara banyak analis sejarah dunia akhir-akhir ini umumnya kurang becus menganalisis apa yang sedang terjadi karena terjebak dalam paradigma apalogetik pada kapitalisme dan pemahaman agak membingungkan tentang faktor-faktor yang bekerja dalam kapitalisme itu. Dalam kaitan ini, buku 'Bonfire of Illusions', The Twin Crises of Liberal World tentu menyegarkan, jelas dan dikemas penuh dengan penjelasan dan bukti .

Secara mengejutkan, Callinicos mengidentifikasi salah satu dari dua krisis Dunia Liberal setelah keruntuhan keuangan 2007-09. Tapi meskipun banyak akan mengharapkan serangan terhadap menara kembar menjadi krisis utama lainnya, Callinicos bukan mengidentifikasi sebuah peristiwa yang memiliki efek yang lebih mendalam tentang peran AS di dunia politik, perang antara Rusia dan Georgia pada tahun 2008.

Jumat, 19 Agustus 2011

Pemikiran Baru Ekonomi Terorisme

Judul Buku    : Radical Religious and Violent
Pengarang     : Eli Berman
Penerbit         : MIT Press, AS
Cetakan         : I, 2009
Tebal              : xi + 300 halaman

KAJIAN-kajian terorisme kini bukan cuma seputar keamanan serta aspek-aspek hukum yang melingkupinya, melainkan kajian itu sudah memasuki wilayah beragam dengan berbagai interaksinya pada disiplin keilmuan lainnya. Hal itu menjadikan terorisme sebagai suatu subyek kajian atau penelitian kemudian tidak lagi bisa dipisahkan dari sudut-pandang apa yang membingkainya. Manakala sudut-pandang itu berpangkal pada psikologi, maka kajian-kajian yang dihasilkannya sangat kental nuansa psikis serta paparan seputar mentalitas dan struktur kejiwaan.

Demikian juga dengan penulis buku ini, Eli Berman. Ia adalah mantan orang lapangan yang terjun langsung ke sejumlah lokasi-lokasi sasaran aksi terorisme dan juga ia berinteraksi langsung pada kelompok-kelompok tersebut. Dari hasil penelitiannya yang cukup lama serta mendalam itulah, Eli yang juga guru besar ekonomi di University California, San Diego, AS ini mencoba menyelami dimensi ekonomi dari terorisme. Bukan berarti dampak ekonomi dari aksi terorisme, melainkan apa latar-belakang pemahaman ekonomi dari para pelaku aksi terorisme tersebut.

Senin, 15 Agustus 2011

Ketika Sang Naga Melirik Benua Hitam

Judul Buku       : The Dragon's Gift
Pengarang        : Deborah Brautigam
Penerbit            : Oxford University Press
Cetakan            : I, 2009
Tebal                 : xv + 397 halaman

Pada beberapa tahun belakangan, pemerintah Cina sangat masif memberikan bantuan, baik dana maupun perhatian besar, pada benua hitam Afrika. Tentu saja, perhatian inilah yang sangat meresahkan banyak perusahaan-perusahaan asing. Mereka melihat kedekatan Cina dengan Sudan, bahkan sejumlah warga biasa Cina sudah mulai menyatu dengan warga Sudan dalam perdagangan, jelas merupakan ancaman serius bagi masa depan bisnis perusahaan Eropa dan AS.

Apalagi selama beberapa dekade terakhir, Beijing telah mengalirkan uang ke benua itu, melakukan transaksi dengan para kepala pemerintahan, pengusaha Afrika dan kelompok-kelompok tertentu, yang dicurigai oleh para para pengusaha Barat atau kepala pemerintahan mereka sebagai upaya Cina mencari sekaligus menjarah sumber daya alam untuk bahan bakar pertumbuhan tanpa henti. Istilah pejoratif yang selalu digunakan adalah invasi Cina ke benua Afrika yang menampilkan wajah moralitas untuk para pejahat Afrika. Jelas, istilah semacam ini boleh dikata merupakan ingatan kolektif masyarakat Barat terhadap kenyataan di Afrika dan Asia.

Senjata paling jitu yang selalu disuarakan oleh para peneliti Barat adalah Hak asasi manusia yang menepis kekhawatiran, lingkungan rusak, bisnis lokal hancur, dan korupsi yang dipandang endemik. Semua itu secara sinis ditudingkan ke realita semakin dekatnya Cina pada negara-negara Afrika, termasuk Sudan. Kasus lepasnya Sudan Selatan mungkin masih menyisakan duka mendalam, betapa kampanye hitam peneliti Barat pada Sudan sudah sangat keterlaluan, bahkan cenderung main tuding tanpa fakta. Kasus itu sendiri bermula dari persoalan konflik di Darfur yang tak berkesudahan dan dianggap telah melanggar HAM sebagai akibat dari tata pemerintahan yang buruk dari Jenderal Omar Bashir.

Dalam konteks Sudan itu, Cina semula dianggap tutup mata dan tak ambil pusing karena apapun yang terjadi di dalam negeri Sudan bukanlah urusan pemerintah Cina. Urusan pemerintah Cina kepada Sudan adalah berkaitan pada eksplorasi sumber daya alam Sudan, bukan dalam urusan politik. Sikap Cina semacam itu kemudian menimbulkan kecaman bertubi-tubi dari komunitas Barat. Tekanan pun terus berlanjut ke Cina, hingga kemudian Cina harus menghadapi fakta sulit dituding sebagai negara paling menjijikkan karena mendukung rezim penguasa lalim di Afrika.

Ini adalah gambar merajalelanya neo-kolonialisme yang dianggap sebagai rujukan oleh banyak orang di Barat. Tapi sebenarnya ada gambaran agak berbeda, yang menjelaskan mengapa beberapa pemimpin Afrika lebih visioner merangkul kemajuan Cina, ketimbang bersetubuh dengan Barat. Pemerintah Afrika bersikap realistik untuk mencermati Cina sebagai negara yang punya prospek untuk mendongkrak kemajuan Afrika, lebih dari sekadar melihat Afrika sebagai benua yang siap dieksploitasi.

Buku karya akademis dari periset AS Deborah Brautigam, pengamat dari Afrika dan Asia selama tiga dekade, muncul pada saat yang tepat. Ia menggunakan pengalaman pribadi dikombinasikan dengan penelitian kualitatif yang kuat terhadap mitos menakutkan bahwa telah berkembang awan pemahaman dari salah satu pergeseran geopolitik paling penting sejak jatuhnya Tembok Berlin.

Contohnya Angola, sebagaimana ditulis Brautigam, adalah salah satu pameran utama dalam paduan suara kecaman negara-negara Barat terhadap Cina. Dikutuk dengan sumber daya alam minus, negara itu lumpuh selama lebih dari 40 tahun akibat menjadi medan pertempuran selama Perang Dingin, muncul dengan infrastruktur rusak, utang besar dan pemerintahan yang korup.

Dana Moneter Internasional kemudian menuntut adanya tindakan pembersihan dan mulai mendorong pemberlakuan akuntansi pendapatan minyak yang membengkak, ketika Cina diduga ngotot tetap mempertahankan kesepakatan bantuan dengan kondisi lama, hal itu jelas mengalahkan perjuangan untuk transparansi dan memprovokasi kemarahan internasional.

Kenyataannya adalah lebih membosankan. Cina menawarkan pinjaman berbunga rendah, bukan bantuan, dengan pembayaran jaminan dari pendapatan minyak. Dan uang itu harus dihabiskan membangun kembali bangsa yang hancur yang telah melihat 300 jembatan dibom dan bertebaran ranjau darat. Ini adalah kesepakatan berisiko, tapi menawarkan harapan bahwa beberapa kekayaan Angola mungkin diterjemahkan ke dalam pengembangan untuk pertama kalinya.

Benar saja, jalan yang dibangun kembali dan sekolah-sekolah didirikan. Sementara itu, bank-bank Barat memberikan pinjaman tanpa menuntut transparansi, dikenakan suku bunga lebih tinggi dan bahkan mengekspor minyak Angola, memastikan uang yang terus mengalir ke pundi-pundi politisi.

Keterlibatan Cina di Angola sekaligus mengkonter klaim IMF sebelumnya bahwa Cina hanya menjarah kekayaan Afrika, dan hanya membangun infrastruktur dalam rangka mengangkut keluar sumber daya alam. Minyak Angola berlokasi pada lepas pantai, namun Cina telah membangun rumah sakit, sekolah sistem irigasi, dan jalan darat.

Memang, tidak seperti donor Barat, yang cenderung memiliki negara favorit mereka, Cina telah memberikan bantuan ke setiap negara di sub-Sahara Afrika - kecuali negara-negara yang mendukung Taiwan, dengan siapa Cina telah terlibat dalam sesuatu dari perang penawaran pinjamanndi seluruh benua.

Kasus Angola menunjukkan dua tema yang muncul jelas dari buku penting ini. Pertama, kemunafikan tak berujung Barat seperti jam tangan perjalanan panjang dari Cina melalui Afrika. Para kritikus, sering sayangnya kurang informasi, mengabaikan sejarah Barat sendiri yang eksploitasi, mendorong korupsi dan mendukung rezim menjijikkan.

Bahkan setelah 60 tahun bantuan Barat, masih ada keengganan untuk menerima kegagalan untuk mempromosikan pembangunan atau mengatasi kemiskinan. Kedua, ada wawasan yang menarik dalam cara Cina mengembangkan kebijakan, cetakan mereka untuk pengalaman, mendengarkan kritik dan tidak pernah takut untuk bereksperimen dalam mengejar tujuan jangka panjang. Seperti kata Deng Xiaoping dalam penggalian di lompatan besar Mao, jika Anda melintasi sungai yang terbaik adalah dengan menjaga kaki Anda di bagian bawah dan merasakan batu-batu.

Brautigam mengatakan strategi Cina, berdasarkan model yang sudah diuji di negara sendiri selama pertumbuhan fenomenal, dirancang untuk memenuhi tiga tantangan. Pertama, untuk memasuki kekayaan alam Afrika karena pertumbuhan Cina melampaui sumber daya sendiri. Kedua, untuk meyakinkan negara-negara berkembang lainnya bahwa sementara Cina adalah kekuatan yang meningkat, itu adalah sebuah kekuatan yang bertanggung jawab - sementara juga menghadapi tantangan Taiwan. Dan ketiga, untuk menciptakan pasar baru bagi perusahaan multinasional yang baru lahir.

Diperkirakan, ada sekitar 3.000 pekerja bantuan Cina, termasuk 34 ahli medis. Tidak seperti pekerja bantuan Barat, mereka hidup dalam gaya yang serupa dengan penduduk setempat. "Bagaimana Anda dapat mengurangi kemiskinan, tetapi tinggal di sebuah hotel bintang lima?" kata seorang ahli Cina tajam.

Pada akhir 1980-an, saat perusahaan Barat ditarik keluar dari apa yang dicap sebagai "benua gagal" Afrika dan bantuan untuk infrastruktur mengering, Beijing justru melihat Afrika sebagai tanah berpeluang. Barat gagal melihat tim Cina mengelola pabrik-pabrik milik negara, membangun jembatan dan memperbaiki sistem irigasi. Pasar di seluruh benua mulai menjual tekstil dan mangkuk logam dibuat di Cina.

Metode Cina yang ketat. Ketika Liberia meminta Cina untuk merehabilitasi pabrik gula tebu dan perkebunan, itu mengharapkan sebuah respon cepat dan positif. Selama dekade terakhir, hubungan antara Cina dan Afrika telah semakin rapat, dengan modal politik yang cukup besar diinvestasikan pada kedua sisi.

Beberapa tahun kemudian, sektor kulit berkembang pesat dan perusahaan sepatu yang masih hidup telah diasah sampai bersaing secara efektif. Brautigam juga menunjukkan kasus menarik, bahwa sementara ada kekhawatiran atas jumlah orang Cina yang bekerja di Afrika, terutama pada tingkat yang lebih senior, tingkat staf Cina menurun dari waktu ke waktu dan pekerjaan lokal didorong.

Penulis menyimpulkan bahwa Afrika merangkul Cina sangat strategis, jangka panjang dan masih berkembang - dan itu terserah kepada para pemimpin Afrika untuk membentuk hubungan guna melayani tujuan mereka sendiri. Barat, katanya, harus mengakui kekurangan dari pendekatan sendiri dan belajar dari cara investasi Cina menggunakan, perdagangan dan teknologi sebagai tuas untuk pembangunan. (Rosdiansyah - peresensi Surabaya Readers Club)

Selasa, 26 Juli 2011

Terlupakan, Pengaruh Ibrani dalam Pemikiran Politik

Judul Buku    : The Hebrew Republic: Jewish Sources and the Transformation of European   Political   Thought
Penulis       : Nelson Eric
Penerbit      : Harvard University Press
Tebal         : 229 halaman
Cetakan       : Pertama, 2010

Selama beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan minat apa yang kemudian disebut "Hebrew Political Tradition'' (Tradisi Politik Ibrani), meskipun sayangnya bidang ini berkembang telah teracuni oleh motivasi ideologis dan kesarjanaan yang tak jelas.

Judul buku yang lebih memilih kata tradisi politik "Hebrew" (Ibrani) daripada tradisi politik "Jewish'' (Yahudi) jelas merupakan suatu upaya untuk membayangkan dunia politik yang termasuk dalam Yudaisme "pra-pembuangan" (pre-exilic) yang tak ada hubungannya dengan realitas historis bangsa yahudi namun lebih banyak kaitannya dengan agama dan imajinasi nasional .

Buku ini merupakan sebuah penelitian yang cermat terhadap fantasi modern awal tentang "Republik Ibrani" (Hebrew Republic), bukan 'Republik Yahudi' (Jewish Republic). Karya ini adalah pekerjaan yang sangat ilmiah dan ditulis dengan baik, yang sebagian besar berhasil dalam menjelajahi data-data sejarah yang solid, dan jauh dari godaan ideologi kotor.

Buku Eric Nelson ini ditulis tepat pada waktunya karena belakangan terlihat upaya kuat di kalangan pemikir politik yang sangat dipengaruhi semangat modernitas untuk menjadikan sekularisme sebagai kemenangan terang fajar baru melawan kekuatan kegelapan yang berpangkal dari pemahaman sempit keagamaan, etnisitas atau rasialisme.

Namun demikian, berlawanan dengan ideologi sekularisme, Nelson berpendapat, bahwa beberapa elemen kunci dari pemikiran politik modern sesungguhnya dimotivasi oleh keyakinan agama dan kepercayaan.

Dijelaskan penulis buku ini, bahwa ahli teori politik dari abad keenam belas dan ketujuh belas, tidak seperti pendahulu mereka dari masa Renaissance, justru tidak mengikuti warisan pagan Yunani dan Roma sebagai sumber utama inspirasi mereka, melainkan merujuk ke Alkitab bahasa Ibrani dan sastra rabinik (sastra para rabbi Yahudi) yang menyediakan model dari pemikiran ideal, konsep ilahi, negara.

Dalam tiga bab dari buku ini, Nelson mencoba untuk menunjukkan bagaimana awal pemikiran modern bergantung pada sumber-sumber Yahudi dalam memperkenalkan dan mempertahankan tiga unsur utama pemikiran politik modern: eksklusivisme republik (yaitu, penolakan monarki), redistribusi kekayaan, dan toleransi beragama.

Lebih jauh, persepsi dari Alkitab berbahasa Ibrani, klaim Nelson, secara bertahap menghilang pada abad kedelapan belas. Di mana pembaca abad ketujuh belas begitu banyak telah menemukan toleransi, kebebasan republik, dan kesetaraan, nuansa sastra abad kedelapan belas cenderung untuk mendeteksi hanya kebiadaban, legalisme despotik, dan kekhususan chauvinistic ( hlm 139).

Namun, Nelson juga mengklaim, bahwa situasi itu akan menjadi sebuah kesalahan proyeksi para filsuf memahami  Alkitab Ibrani ke dalam abad keenam belas dan ketujuh belas.

Klaim utama Nelson tersebut tentu sangat mengejutkan dan berani dan awalnya meninggalkan para pembaca skeptis terhadap buku ini, namun Nelson berhasil menggali  cukup bukti, yang meskipun tidak konklusif, masih menyajikan sejarah awal pemikiran politik modern dalam paparan yang menarik dan tidak dikenal selama ini sehingga memancing studi atau riset lebih lanjut.

Buku ini dimulai dengan survei Renaissance dan Hebraisme (keyahudian) modern awal - "penemuan" Barat Kristen dan terjemahan literatur rabinik yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Erasmus, Reuchlin, Sixtinus Amama, Sebastian Münster, yang Buxtorfs, Yusuf Yustus Scaliger, dan John Selden.

Kemudian beralih ke topik pertama, yakni eksklusivisme republik. Menurut penulis, keseragaman monarki dianggap  setidaknya salah satu bentuk yang sah dari pemerintahan sampai awal abad ketujuh belas.

Namun pada akhir abad yang sama muncul suara-suara yang jelas menolak monarkisme sebagai pemikiran yang tidak sah. Dalam bab pertama buku ini, Nelson berpendapat bahwa penjelasan terbaik bagi munculnya eksklusivisme republik terletak pada penemuan kontemporer dari Alkitab Ibrani dan sumber-sumber rabinik yang mendiskualifikasi monarki sebagai bentuk penyembahan berhala. Oleh karena itu, sistem monarki merupakan sistem yang identik dengan penyembahan berhala.

Upaya kedua Nelson yang tersebar dalam bab di buku ini adalah menelusuri perkembangan penting lain dalam sejarah pemikiran politik: pendahuluan redistribusi ke dalam arus utama teori politik republik. Menurut penulis, sampai awal abad ketujuh belas, ahli teori politik modern masa awal yang menggagas adanya redistribusi tanah yang konsisten secara dominan dalam sumber-sumber sejarah Romawi.

Padahal, Nelson menunjukkan bahwa perubahan besar dalam pemikiran teori republik ini terinspirasi oleh hukum alkitabiah dari Jubilee: kembalinya tanah kepada pemilik asli mereka setiap tahun lima puluh (Imamat 25: 13-24). Kemudian, dokumen-dokumen yang dihimpun Nelson dibandingkannya terhadap hukum Alkitab, komentar Rabbinik pada Alkitab, dan isi diskusi Maimonides 'dari Jubilee dalam kode hukum.  Semua dokumen itu sejalan dengan pembenaran redistribusi agraria oleh penulis seperti Petrus Cunaeus dan James Harrington.

Dia menegaskan bahwa sumber-sumber berbahasa Ibrani telah membuka 'cara ketiga' dalam pemikiran modern republik, diantaranya bukan terkait pada perlindungan maupun penghapusan milik pribadi, melainkan pada wacana redistribusi" (hlm 86).

Dalam bab ketiga, Nelson menyuguhkan paparan terpanjang bertajuk - "Teokrasi Ibrani dan Kebangkitan Toleransi". Dalam paparan ini, Nelson berpendapat bahwa imajinasi res-publica yang bersifat Hebraeorum merupakan sumber utama inspirasi bagi pendukung awal masa modern dari wacana toleransi agama dan Erastianisme.

Nelson menunjukkan secara meyakinkan melalui pendekatan berulang-ulang dari para pendukung toleransi agama terkait elemen toleran dalam hukum Rabbinik, seperti pandangan bahwa penerimaan Yudaisme bukan "satu-satunya cara untuk keselamatan" (yaitu, bahwa bangsa-bangsa lain juga memiliki saham di dunia yang akan datang) .

Sumber utama Yahudi utama yang dirujuk untuk membuktikan sifat Erastian negara Yahudi kuno ini semestinya Josephus, dan ini bukan secara kebetulan. Siapa pun yang akrab dengan literatur rabinik tidak bisa tidak akan terkejut dengan anggapan Erastianisme terhadap budaya ini. Sementara sastra rabinik biasanya sangat polifonik - meninggalkan sedikit, jika ada, isu-isu tak tertandingi - sulit untuk menemukan sumber Rabbinik mendukung intervensi otoritas sekuler (Yahudi atau bukan Yahudi) dalam hal-hal terkait Rabbinik.

Namun, uraian Nelson tersebut bukannya tanpa kritik. Justru para pakar sastra Rabbinik lain juga melihat bahwa dalam keadaan normal hukum rabinis memungkinkan (pada kenyataannya, membutuhkan) seseorang untuk melanggar hampir semua perintah guna menyelamatkan nyawa. Pada saat upaya oleh otoritas eksternal untuk campur tangan secara paksa terhadap hukum agama, aturan Talmud yang satu ini diperlukan demi mengorbankan hidup seseorang bahkan pada isu-isu kecil seperti cara yang tepat mengikat sepatu.

Demikian pula, sumber Rabbinik (serta nabi-nabi Alkitab) jarang menggambarkan raja-raja dan penguasa sebagai jahat. Sementara dokumen Nelson yang merujuk pada awal Hebraists modern yang mengambil Sanhedrin Agung (pengadilan tertinggi Rabinis kuno) sebagai organ sipil, justru ini sangat jauh dari pandangan penulis Rabbinik sendiri.

Karya Nelson memberikan kontribusi penting dan perintis untuk mempelajari teori politik modern, meskipun layak dipertanyakan adanya teks Rabbinik merupakan sumber yang sebenarnya dari tiga doktrin dibahas dalam buku ini.

Akhirulkalam, seharusnya arah baru kajian pemikiran politik Eropa modern yang bersumberkan pada otoritas Alkitab Ibrani (dan sumber Rabbinik) tidak hanya untuk memotivasi aspek yang lebih progresif dari pemerintahan modern, tapi juga fenomena menyeramkan seperti rasisme, perbudakan dari "Anak-anak Ham'', dan bahkan genosida.

(Rosdiansyah, penulis adalah alumni ISS, Den Haag, Belanda)

------------