Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Minggu, 30 Oktober 2011

Melarang Buku Radikal Kanan

SELAMA Orde Baru berkuasa bukan hanya buku-buku bernuansa 'kiri' saja yang diawasi atau bahkan dilarang pemerintahan yang berkuasa saat itu, melainkan buku-buku yang kental nuansa 'kanan' pun ikut diawasi, diteliti kemudian dilarang. Modus pelarang buku seperti itu kembali lagi terjadi pada masa sesudah Orde baru tumbang. Aparat penegak hukum seperti kejaksaan bertindak seperti penjaga sekaligus pengawas buku-buku yang dianggap berbahaya. Masalahnya, belum tentu apa yang dikategorikan 'bahaya' oleh kejaksaan itu memang benar berbahaya untuk pembaca. Penentuan sebuah buku itu berbahaya atau tidak, jelas bukan kewenangan kejaksaan, apalagi saat ini warga masyarakat yang sekaligus menjadi pembaca buku yang rajin, tentu mencermati kinerja kejaksaan di bidang lain, seperti pemberantasan korupsi yang tak kunjung usai. Daripada memberi cap sebuah buku berbahaya, pembaca buku tentu lebih menyarankan kepada petugas kejaksaan agar fokus saja pada pemberantasan korupsi.



Boleh jadi ada 'pesanan' dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau organ-organ pemerintah anti-Islam lainnya, yang kemudian mendorong kejaksaan memeriksa, mengawasi sekaligus melarang buku-buku keislaman belakangan ini. Semula, kabar tak sedap ini cuma berhembus di kalangan tertentu saja, yakni saat sejumlah petugas kejaksaan kabarnya merazia sebuah toko buku di Bandung (?). Dalam razia itu, petugas kejaksaan memberitahukan kepada pemilik atau pengelola toko buku, bahwa sejumlah buku tentang keislaman saat ini sedang diawasi pemerintah, bahkan sudah mendekati pelarangan beredar. Jika memang benar razia itu dilakukan aparat kejaksaan, maka razia itu sungguh memprihatinkan. Sebab, razia itu jelas menghalangi pembaca buku untuk memperoleh buku-buku yang memang layak dibaca. Sebenarnya, petugas kejaksaan atau pemerintah sekalipun tidaklah punya hak untuk menentukan mana buku yang layak dibaca dan yang lain tidak boleh dibaca oleh warga masyarakat.

Pelarangan membaca sebuah buku oleh pemerintah jelas melanggar HAM pembaca. Membaca buku adalah hak azasi pembaca yang berhak pula menilai isi sebuah buku itu menarik, jelek, kacau atau bagus. Penilaian dari aparat atau institusi pemerintah terhadap sebuah buku tidak bisa dijadikan rujukan bagi pembaca untuk menilai isi sebuah buku, sebab mencerna isi sebuah buku tentu tergantung pada tingkat intelektualitas serta kematangan pembaca. Bisa saja terjadi, penilaian dari pemerintah terhadap isi sebuah buku justru bertolak belakang dari penilaian pembaca. Maka, melarang sebuah buku hanya karena isi buku tersebut tak sesuai dengan keinginan pemerintah atau minat aparat jelas merupakan pelecehan terhadap intelektualitas serta martabat pembaca.

Apalagi jika pemerintah sudah berangkat dari motif tertentu dalam modus pelarangan itu. Kali ini, motif tersebut adalah membendung aksi terorisme dan membangkitkan semangat de-radikalisasi. Motif seperti itu jelas sangat merendahkan kemampuan pembaca untuk mencerna isi buku, sekaligus menunjukkan ketidak-mampuan aparat yang melarang peredaran buku itu memahami hubungan antara pembaca dan buku. Seolah-olah setelah membaca sebuah buku yang masuk kategori versi pemerintah sebagai buku radikal kanan, pembaca lalu terpengaruh dan melawan pemerintah. Padahal, pembaca buku mempunyai otoritas serta penilaian kritis pada buku yang bukan termasuk bahan indoktrinasi. Pembaca mempunyai kewenangan menilai isi buku, minimal menimbang isi buku. Penolakan terhadap isi buku akan menjadi bersifat alamiah ketika pembaca merasakan atau merenungkan secara personal ada yang tak kurang pas atau tidak sesuai antara isi sebuah buku dengan kenyataan yang dihadapinya.

Lagipula, ada oknum aparat pemerintah yang tampaknya belum belajar dari pengalaman yang sudah berulangkali terjadi. Semakin dilarang sebuah buku, dengan dalih apapun, maka semakin dicari buku itu oleh pembaca. (Rosdiansyah, pegiat Surabaya Book Readers)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar