Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Selasa, 21 September 2010

Menimbang Langkah Reformasi Radikal

Judul buku    : Radical Reform, Islamic Ethics and Liberation
Pengarang    : Tariq Ramadan
Penerbit        : Oxford University Press,
Cetakan        : Pertama, Mei 2009
Tebal             : 372 halaman

Tariq boleh dikatakan bukan sosok macam ‘like father, like son’. Walau ia adalah keturunan aktivis radikal Ikhwanul Muslimin, Said Ramadan yang diasingkan pemerintah Mesir ke Swiss, namun Tariq jauh dari kesan penampilan sangar. Tariq justru dibesarkan dalam paduan antara tradisi intelektual Eropa yang kritis dan lingkungan keluarga muslim imigran asal Mesir yang taat. Ia tumbuh dalam lingkungan hibrida, antara Islam dan Eropa, jantung pencerahan. Sebagai akademisi Eropa di bidang kajian Islam (Islamic Studies) saat ini, Tariq mengajar di beberapa kampus ternama, selain ia juga terlibat aktif dalam perdebatan intelektual di forum-forum ilmiah.

Tariq menolak anggapan umum, bahwa seorang muslim yang datang ke Eropa lalu menetap di benua, tetap disebut sebagai orang asing. Sebaliknya, Tariq berpandangan bahwa dimanapun muslim telah menetap lama hingga beranak-cucu menjadi warganegara di salah-satu negara Eropa, maka ia berhak untuk menyatakan dirinya sebagai bagian dari sebuah bangsa. Jika ia sudah berwarganegara Eropa sejak beberapa generasi, maka ia berhak meneguhkan dirinya sebagai muslim Eropa (European muslim), bukan muslim di Eropa (muslim in Europe). Salah-satu hak dasar warganegara adalah pengakuan bahwa dirinya adalah bagian sebuah bangsa dari negara dimana ia berada.

Buku ini merupakan sekuel pemikiran Tariq yang ingin membebaskan kajian-kajian keislaman kontemporer dari penafsiran kaku, agar bisa mengikuti perkembangan kajian keilmuan, pengetahuan dan filsafat. Layaknya hasil sebuah riset panjang dan refleksi mendalam atas keberadaan komunitas Islam serta karya-karya kajian keislaman yang sudah ada, Tariq mengurai pemikirannya menjadi tiga buku sebelumnya. Buku pertama Tariq berjudul ‘To Be a European Muslim’ yang menegaskan teks yang tak bisa diubah dan apa yang sedang berubah. Pada buku kedua bertajuk ‘Western Muslims and the Future of Islam’, Tariq mulai menukik pada persoalan-persoalan nyata, seperti komitmen politik, pendidikan, sosial, yang dihadapi kaum muslim di dunia Barat. Sedangkan dalam buku ketiga ‘Islam, the West and the Challenges of Modernity’, intelektual ini mempertanyakan posisi kaum muslim dihadapan keaneka-ragaman modernitas.  

Untuk lebih mempertegas metodologi riset, upaya pembebasan dari kekakuan penafsiran serta menawarkan reformasi radikal, Tariq kemudian menuliskan buku keempat ini. Buku ini memuat 12 bab dalam empat bagian. Pada bagian pertama, penulis menyatakan pentingnya reformasi penafsiran yang tidak terjebak kedalam pembacaan teks-teks hukum belaka. Tariq menawarkan jalan reformasi radikal bertumpu pada etika individu dan masyarakat. Seluruh bangunan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan juga bertumpu pada etika. Persoalannya, etika terlalu sering disejajarkan semata pada prinsip-prinsip tertentu yang memisahkan kehidupan individual dan publik, sebagaimana lazim dipahami orang awam terhadap proses sekularisasi. Bagi Tariq, sekularisasi bukan berarti meminggirkan moral, melainkan sekularisasi lebih terkait pada derajat otoritas.

Memasuki bagian kedua yang mencakup empat bab, Tariq segera mengevaluasi karya-karya standar kajian keislaman, baik klasik maupun kontemporer. Setelah mengurai pendekatan deduktif Imam Syafii, pendekatan induktif Imam Hanafi serta kemustahilan memutus teks suci dari konteks implementasi praktis, Tariq kemudian membuat sebuah sintesis (hlm 77-83).  Menurutnya, saat ini permasalahan kaum muslim sudah keluar dari wilayah geografis Timur Tengah, Afrika Utara atau negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Permasalahan mendasar umat muslim terkait kemanusiaan dan lingkungan saat ini justru muncul di negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya non-muslim. Selama ini, penafsiran terhadap teks suci yang dilakukan para penafsir otoritatif yang diakui oleh mayoritas muslim ternyata kurang membumi ketika berhadap dengan permasalahan di negara-negara Barat.

Tariq menegaskan, bahwa etika individual dan publik muncul ketika seorang penafsir sangat tahu apa yang sedang dihadapi masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Etika tersebut memang tersirat didalam karya-karya para imam yang dirujuk mayoritas muslim di wilayah geografis Islam, namun disadari atau tidak, etika tersebut sangat terkait dengan budaya, cara pandang serta peri-kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, jalan pembebasan etika harus mencermati bagaimana budaya keseharian, cara pandang serta lingkungan dimana masyarakat berada.  

Untuk menegaskan, jalan pembebasan ala Tariq itu berdasarkan pada tiga proposisi yang kemudian ditawarkan pada kajian keislaman, baik di Barat maupun Timur. Pertama, Tariq terlebih dulu membuat perbedaan reformasi adaptif dan reformasi transformatif. Reformasi adaptif membutuhkan ajaran agama, filosofis dan hukum kedalam evolusi masyarakat, ilmu pengetahuan dan dunia. Namun, reformasi transformatif bertujuan secara aplikatif menggunakan perangkat spiritual, intelektual dan ilmiah untuk mengantisipasi kompleksitas permasalahan sosial, politik, filosofis dan tantangan etika. Proposisi kedua, isi serta konteks geografis sumber-sumber hukum Islam juga perlu dipertimbangkan.

Produk hukum yang didalamnya mengandung etika merupakan sublimasi pemikiran sang penafsir terhadap budaya, cara-pandang serta keseharian masyarakat dimana ia berada. Hal ini membawa Tariq pada proposisi ketiga, bahwa pusat perhatian dalam rangka membangkitkan etika untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan dogma sempit kini sudah bergeser dari kawasan muslim ke kawasan mayoritas non-muslim. Tentu saja, persoalan yang dihadapi pun jauh lebih majemuk sehingga dibutuhkan kerjasama antara para pengkaji teks sumber Islam dengan para sarjana disiplin ilmu lain.

Bagi masyarakat muslim di Indonesia, tawaran Tariq ini tentu bukan barang baru. Sebab, jalan pembebasan etika Tariq mungkin sama dengan jalan pembumian Islam konteks Indonesia, seperti dipelopori Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid. Lalu, perkara kerjasama antar sarjana agama dan sarjana non-agama, juga sudah dilakukan oleh ormas-ormas keislaman sebelum mereka berpendapat atau menjawab suatu permasalahan. Namun demikian, posisi Tariq yang lahir dari keluarga imigran di lingkungan masyarakat sekular Eropa, mungkin menjadikan buku ini layak untuk disimak. Setidaknya, ada perbandingan, antara proses pembumian Islam di Indonesia dan upaya membumikan Islam di Eropa dan Barat.
* * *
(Diresensi oleh Surabaya Readers Club dan telah dimuat Majalah Tempo )
    

Salah-satu Contoh Resensi...

Mengkritisi Strategi Penataan Birokrasi Berbasis IT

Judul buku    : The Information Revolution and Developing Countries
Pengarang    : Ernest J. Wilson III
Penerbit        : The MIT Press, AS
Cetakan        : Pertama, April 2009
Tebal        : xiv + 431 halaman

Penggunaan Information Technology (IT) di negara-negara berkembang sudah semakin pesat dan memasuki berbagai kebutuhan. Termasuk di Indonesia, khususnya di Surabaya, pemaikaian perangkat canggih berteknologi komputer jejaring itu sudah mulai dirancang sejak memasuki tahun 2000, ketika pemanfaatan komputer semakin merata. Pemerintah daerah, semisal Pemkot Surabaya, semakin menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat terhadap pemakaian IT agar bisa menjadikan kerja-kerja birokrasi lebih efektif dan efisien dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Studi-studi akademis mengenai dampak IT di negara berkembang pun semakin marak. Salah-satu studi yang fokus pada dampak pemanfaatan IT itu dilakukan oleh penulis buku ini, yang ingin melihat bagaimana dampak sekaligus efektivitas birokrasi di negara berkembang tatkala nyaris semua lini pekerjaan didalam birokrasi sudah terkomputerisasi. Pekerjaan birokrasi memang bisa dipermudah dan dipersingkat melalui penggunaan teknologi informasi, namun untuk sampai pada derajat mengembangkan kemampuan pemanfaatan teknologi itu tentu dibutuhkan sumberdaya manusia yang mumpuni. Oleh karena itu, bagi banyak negara berkembang, SDM di bidang teknologi informasi harus benar-benar dipersiapkan sebelum mengganti semua lini birokrasi dengan pekerjaan berbasis IT.

Untuk menelusuri bagaimana persiapan birokrasi negara berkembang tersebut, penulis buku yang juga gurubesar di bidang ilmu pemerintahan dan politik Universitas Maryland, AS ini memaparkan pemetaan, deskripsi masalah, kerangka analisis, aplikasi IT di tiga negara berkembang, yakni Brazil, Ghana dan China, kemudian ia masuk kedalam analisis seputar revolusi teknologi informasi. Semuanya terangkum kedalam delapan bab, dimulai pada bab awal, dimana penulis sudah menggunakan bingkai analisis ‘strategic restructuring’ (strategi penataan kembali). Bingkai ini merupakan model arsitektur terbuka yang terdiri dari empat determinan berbeda. Pertama, struktur sosial, ekonomi dan politik. Kedua, institusi yang memprakarsai sistem IT, seperti peranannya dan insentif yang diberikan. Ketiga, perilaku strategis elit politik yang mendorong pemberlakuan sistem IT. Keempat, kebijakan pemerintahan, contohnya kompetisi atau monopolistik, asing atau domestik, sentral atau desentralistik. 

Penulis buku ini mengkonseptualisasikan IT, atau ICT (Information Communication Technology), sebagai kekuatan potensial sebagaimana kapital dan tanah. Sejarawan Inggris Eric Hobsbawm menyebutkan, bahwa abad ke-19 merupakan abad kapital. Siapa yang menguasai kapital, maka ia akan menguasai berbagai jalur di pemerintahan, bisnis maupun masyarakat. Memasuki abad 20, mulai terjadi pergeseran ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi menjadi bagian penting dari hajat hidup orang banyak. Maka, muncul paradigma baru, bahwa menguasai IT berarti juga menguasai hajat hidup masyarakat luas. Bahkan penguasaan itu bukan hanya sekadar melayani masyarakat, melainkan juga mengarahkan masyarakat kepada sasaran tertentu. Masyarakat modern yang tergantung pada ICT tidak bisa lagi bebas karena sudah diikat oleh penataan-penataan yang dibuat berdasarkan aplikasi perangkat lunak yang memudahkan sekaligus mempercepat kerja.

Pemerintah tiga negara berkembang memang sangat berminat mengadaptasikan penggunaan ICT untuk masyarakat dan dunia bisnis. Namun, diawal buku, penulis justru terlebih dulu mengurai bagaimana kota ajaib Bangalore, India, bisa berkembang pesat tatkala ICT mulai memasuki kehidupan warga (hlm 63). Sebagaimana layaknya masyarakat negara berkembang, para penduduk Bangalore umumnya adalah masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi, kebiasaan serta adat. Hubungan satu warga dengan warga lainnya sudah terjalin dengan baik serta diikat oleh rasa saling percaya satu sama lain. Dari keseharian ini kemudian muncul fenomena jejaring sosial yang mengiringi jejaring teknologi. Warga mulai keluar dari kehidupan eksklusif di masa lalu yang berdasar adat-kebiasaan dan hubungan darah, menuju kepada keseharian inklusif, dimana warga dari aneka latarbelakang profesi membangun sikap saling mempercayai. Kenyataan ini tidak tampak di daerah-daerah lain di India atau juga tak terlihat pada nyaris semua negara berkembang. Sebaliknya, kenyataan di Bangalore itu terlihat juga pada masyarakat di Boston dan San Francisco, AS. Itulah inti ‘keajaiban Bangalore’, yakni tatkala social capital muncul seiring dengan peresapan teknologi ICT.

Tingkat keterserapan ICT di negara berkembang mempunyai korelasi pada kesiapan memasuki sistem global. Sebab, hampir semua sisi hubungan internasional lintas negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan ICT. Melalui penggunaan ini, kemudian pelan namun pasti telah terjadi perubahan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ketika ICT mulai menjadi bagian dari keseharian di Cina, maka demam internet dari masyarakat menjadi tak terhindarkan sehingga Partai Komunis Cina (PKC) mulai terkena dampak. Jika sebelum era internet, masyarakat Cina begitu mudah ditundukkan oleh kekuasaan para pengurus PKC, sebaliknya, ketika ICT mewabah, masyarakat pun tak mudah percaya begitu saja terhadap PKC. Akan tetapi, pengaruh penggunaan ICT di Brazil justru semakin memperkuat posisi pemerintah, ketika upaya-upaya peningkatan produk domestik digalakkan secara besar-besaran satu dekade silam. Sementara di Ghana, pemerintah melakukan strategi penataan kembali melalui dominasi terhadap semua sektor dimana ICT memainkan peranan penting. Melalui penataan ini, pemerintah Ghana kemudian mendorong terciptanya kediktatoran lunak gaya khas politik Afrika yang patrimonial.       

Pemaparan penulis buku ini tentang pengalaman tiga negara berkembang analog dengan pengalaman masyarakat Surabaya yang mulai menggunakan PSB online, e-procurement atau e-budgeting  untuk mempermudah kinerja birokrasi. Namun, tetap ada kendala yang harus dihadapi masyarakat. Pertama, menyangkut kesiapan sistem IT yang digunakan. Kesiapan ini tentu harus dikaitkan dengan kesadaran birokratik , bahwa elit birokrasi merupakan pelayan masyarakat sehingga wajib menunjukkan pelayanan prima. Kedua, strategi penataan kembali pelayanan untuk masyarakat sangat terkait pada perilaku politik dari elit. Jika elit politik berperilaku sembarangan, maka akan terjadi kesemrawutan penggunaan sistem IT.
* * *
(Peresensi adalah Koordinator Surabaya Readers Club, Surabaya)
  

Senin, 20 September 2010

Membaca Cermat dan Kritis (2)

Kembali mengurai seputar aktivitas membaca. Kadang kita merasa sangat bosan ketika membaca isi sebuah buku pada saat sudah memasuki halaman-halaman di bagian tengah atau menjelang akhir. Kebosanan muncul bisa jadi karena adanya pengulangan alasan atau repetisi dalam paparan dari penulis, boleh jadi juga dikarenakan penulis buku bertele-tele dalam menguraikan isi pikirannya dengan kalimat tak menarik. Sebagai pembaca, tentu kita mengharapkan kenikmatan dalam memahami isi buku tanpa harus terganggu dengan cara penulis menguraikan paparannya yang tidak masuk akal atau bertele-tele. Oleh karena itu, salah-satu cara untuk tidak terjebak kedalam rasa bosan atau frustasi berlarut-larut, maka kalau kita masih punya waktu ekstra dalam membaca buku tersebut, maka berilah catatan, coretan atau komentar didalam buku itu. Sebagai pembaca, anda berhak sepenuhnya atas buku yang sudah menjadi milik anda, untuk mencoretnya atau mengomentarinya. Disinilah sebenarnya tampak keterlibatan penuh pembaca aktif seperti anda terhadap sebuah karya yang telah dituliskan penulis.

Coretan atau komentar anda pada sebuah buku jelas menunjukkan perhatian anda terhadap isi buku. Isi coretan itu bisa saja karena keisengan anda atau memang anda punya perhatian lebih pada isi buku. Coretan yang baik atau komentar kritis pada isi buku jelas akan memberi nilai tambah pada buku tersebut, sebab dari coretan atau komentar balik itu akan terlihat dialog anda dengan isi buku. Pembaca pasif jelas berbeda dari pembaca aktif, dimana pembaca aktif selalu penuh perhatian mencermati bagaimana rangkaian kata, kalimat atau argumentasi penulis disusun dan kemudian direspon. Coretan atau komentar terhadap isi buku merupakan respon anda terhadap pikiran penulis sekaligus bentuk perhatian anda terhadap alur dan sudut-pandang penulis buku. Disinilah sebenarnya jalinan dialog antara pembaca dan penulis sehingga melalui buku posisi penulis tidak harus berada diatas pembaca. Pembaca kritis akan menemukan berbagai kejanggalan, kelemahan atau ketidakmasuk-akalan dalam paparan penulis. Namun demikian, patut diperhatikan, bahwa mengkritisi isi buku bukanlah berarti harus mencari-cari kesalahan atau kejelekan buku tersebut. 

Mengkritisi isi buku mempunyai kedudukan lebih tinggi dari sekadar memuji atau menyetujui apapun yang dituliskan penulis buku. Bahkan, mengkritisi isi buku sangat jauh terhormat ketimbang mencari-cari kesalahan atau kejelekan isi buku. Barangkali kita masih ingat dalam sejarah polemik kebudayaan ketika komentar dan kritik berlalu-lalang diantara para penulis sehingga melahirkan sebuah ketegangan kreatif antara penulis dan pembaca kritis. Para komentator atau kritikus pada masa itu selalu bisa menemukan sesuatu yang layak untuk dikritik dari karya-karya seni dan budaya. Dan pembaca pasif atau penikmat karya-karya kebudayaan, semacam buku atau karya seni lainnya, akan memperoleh manfaat besar berupa cakrawala pemikiran dan spektrum gagasan yang begitu luas. Penemuan titik lemah dari sebuah paparan penulis tentu mengharuskan upaya serius untuk mencermati isi buku, tidak bisa sekadar melakukan review biasa terhadap buku tersebut. 

Dari sudut-pandang untuk kemajuan penulis, tentu saja coretan atau komentar dari pembaca aktif akan sangat bermanfaat, sebab pada hakikatnya sebuah buku ditulis bukan semata untuk menggiring pembaca agar setuju kepada apapun yang dipaparkan oleh penulis. Melainkan, pembaca juga mempunyai hak untuk mengomentari atau mengkritik isi buku. Apa yang dituliskan oleh penulis yang dianggapnya sudah bagus dan baik, belum tentu dianggap demikian oleh pembaca yang kritis dan cermat.

Jumat, 17 September 2010

Membaca Cermat dan Kritis

Membaca buku barangkali agak berbeda dibanding membaca koran, majalah atau jurnal. Sebab, buku merupakan ruang yang utuh berisi gagasan, ide atau ungkapan pemikiran dari penulisnya.  Ada hubungan yang sangat kuat antara gagasan yang tertuang dalam sebuah buku dengan cara penulis buku memandang sebuah permasalahan atau sudut-pandang tertentu yang digunakan oleh penulis buku terhadap sebuah fenomena. Hubungan kuat itu baru terasakan ketika bahasan yang disodorkan oleh penulis buku sudah mulai menukik pada pembahasan mendalam, biasanya dibagian tengah buku yang umumnya merupakan bagian ulasan atau paparan pikiran-pikiran pokok penulis. Seorang penulis yang piawai tidak akan terburu-buru menyodorkan pemikirannya pada bagian-bagian awal dari buku yang ditulisnya, kecuali jika ia hendak menarik pembaca bukunya agar tetap lekat pada bahasan-bahasan berikutnya didalam buku. Namun, trik semacam ini akan kehilangan kekuatannya jika menjelang bagian pertengahan buku ternyata sang penulis buku sudah mulai kedodoran memaparkan gagasan intinya yang menawan dengan gambaran memikat. Oleh karena itu, biasanya penulis piawai akan berhati-hati menuliskan sesuatu dibagian awal bukunya sembari tetap menjaga ungkapan pemikiran atau gagasannya melalui kalimat-kalimat memikat dan menawan agar bisa menjaga ketertarikan pembaca dan terus mendorong rasa ingin tahu pembaca. 

Setidaknya ada dua jenis buku yang patut dicermati untuk membangun strategi membaca cermat dan kritis. Pertama adalah jenis buku sebagaimana telah diuraikan diatas, yakni buku berisi pemikiran utuh dari satu penulis. Dimana penulis itu mengungkapkan pikiran atau gagasannya tanpa harus mengikut-sertakana orang lain atau pihak lain dalam buku tersebut. Kedua adalah jenis buku yang merupakan kompilasi atau kumpulan tulisan dari beberapa penulis yang dirangkai oleh editor buku. Jika pada buku jenis pertama kita melihat adanya rangkaian kesinambungan gagasan penulis yang membangun keutuhan pandangan-pandangannya secara agak rinci dan adanya hak penuh dari penulis atas semua yang telah diuraikannya dalam buku itu. Maka, pada buku jenis kedua, kita ditantang untuk bisa melihat titik sambung dari pikiran atau gagasan satu penulis dari penulis yang lain dalam satu tema sama yang telah ditetapkan oleh editor buku.

Pada sebuah buku ditulis secara beramai-ramai, biasanya disebut buku editorial atau buku kumpulan tulisan, maka ruang pengungkapan pikiran, gagasan atau ide tentu agak terbatas. Para penulis yang terhimpun dalam buku jenis tersebut dibatasi oleh tema tertentu yang sudah digariskan oleh editor buku. Para penulis ini umumnya diberi kebebasan mengekspresikan gagasannya atau idenya, namun harus masih berada dalam koridor tema yang disodorkan oleh editor. Dalam kaitan ini, kekuasaan menentukan tema dan penempatan tulisan dari masing-masing penulis itu kedalam buku kumpulan tulisan, sepenuhnya berada ditangan sang editor. Menulis secara beramai-ramai semacam ini tentu menunjukkan ada sedikit kesamaan dengan menulis di jurnal atau majalah dengan topik atau tema tertentu yang sudah ditetapkan oleh editor.

Pembacaan cermat dan kritis pada kedua jenis buku itu bisa dilakukan dengan membaca pada bagian awal buku. Cobalah untuk tidak mengabaikan kata-pengantar dari penulis buku atau editor buku, sebab didalam kata pengantar itu biasanya penulis atau editor memberitahukan maksud dan tujuan dibalik penerbitan buku tersebut. Namun demikian, untuk buku-buku fiksi, pembacaan cermat bisa dilakukan dengan membaca paparan diawal buku, membaca karakter tokoh dan suasana yang dibangun penulisnya, dan dari sana baru terbangun gambaran kenapa buku itu perlu ditulis. Pembacaan cermat untuk menangkap gagasan awal penulis tersebut tentu membutuhkan konsentrasi dan fokus, sehingga anda perlu menarik nafas dalam sembari tetap melekatkan mata pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam buku itu. Usahakan tidak melakukan jeda membaca makala sudah memasuki paparan awal, kalaupun harus melakukan jeda, usahakan jangan terlalu lama, sebab jeda yang lama akan membuat anda kehilangan mata-rantai gagasan yang diungkapkan penulis. 

Kamis, 16 September 2010

Memilih Buku Untuk Dibaca

Salah-satu masalah yang sering dihadapi oleh pembaca buku adalah ketika berhadapan dengan berbagai judul buku menarik yang diterbitkan pada saat bersamaan oleh penerbit berbeda atau penerbit yang sama. Dalam satu kurun waktu tertentu, bisa saja penerbit yang sama atau pernerbit berbeda me-launching buku-buku yang menarik untuk dibaca, sehingga para pembaca buku sering kebingungan untuk memilih. Menarik dalam hal ini bukan dikarenakan desain cover atau tampilan buku yang menarik, tetapi 'menarik' dalam kaitan ini lebih tertuju pada isi buku. Sehingga masalah prioritas buku untuk dibaca jamak ditemui dikalangan para pembaca buku atau kutu-buku.  Tidak bisa diingkari, bahwa setiap penerbit tentu punya jajaran keredaksian yang mampu mensinergikan antara keinginan pasar dan menjaga idealisme, meski hal ini tentu saja tidak berlaku bagi jajaran penerbit yang semata-mata hanya berorientasi pada produk untuk pasar tanpa peduli pada mutu produk untuk dipasarkan. Nah, fokus dari tulisan ini adalah pada buku yang secara isi memang mencerminkan kemauan penerbit untuk konsisten memperkenalkan khazanah bermutu kepada khalayak, selain penerbit terkait juga memikirkan daya serap pasar atas buku yang diterbitkan.

Sebaliknya, bagi konsumen buku, apalagi bagi para kutu buku, spektrum judul buku yang meluas dari penerbit yang sama atau dari penerbit berbeda, tentu saja akan menawarkan banyak hal, seperti isi buku yang bermanfaat untuk mengubah kehidupan sehari-hari atau memberi cakrawala baru dalam kehidupan. Disinilah letak persoalannya, yakni ketika buku bermutu secara isi yang diterbitkan begitu banyak, sedangkan ada keterbatasan konsumen untuk membeli, bahkan membacanya secara tuntas. Banyak buku yang diterbitkan pada saat bersamaan kadang menawarkan bukan hanya judul yang menarik atau pengarang terkenal, melainkan juga menyodorkan paparan isi yang menarik. Sehingga dibutuhkan kejelian memilih. Nah, memilih buku jelas berbeda dari memilih barang biasa. Memilih buku kadang bisa lebih rumit daripada memilih barang lain.
Barangkali selain membaca judul dan melihat sekilas pengarang, kita bisa menelusuri info buku itu melalui internet atau membaca sekilas paparan dibagian cover belakang dari buku tersebut. Dari paparan sekilas itu, bisa saja kemudian tergambar kira-kira buku itu mengarah ke paparan yang sesuai dengan keinginan kita atau tidak. Namun, harap dicatat, bahwa informasi apapun tentang buku, termasuk informasi dari sebuah resensi buku, jelas bukanlah mencerminkan keutuhan isi buku itu. Meski harus diakui, membaca resensi sebuah buku merupakan langkah yang bagus untuk mengetahui bagaimana sebenarnya isi buku tersebut dari persepsi penulis resensi. Jika penelusuran ini dirasa masih kurang, maka cara yang bisa dilakukan adalah meminta dengan sopan kepada penjaga toko buku untuk membuka plastik buku dengan alasan ingin melihat daftar isi buku atau membaca pengantar yang ditulis oleh penulisnya. Dari pembacaan terhadap daftar isi dan/atau kata pengantar itu setidaknya bisa tergambar apa isi buku tersebut.
Kadang untuk membaca bagian dalam dari sebuah buku yang tidak ada contohnya didisplay toko buku, kita harus menjelaskan kepada penjaga toko buku agar dia sudi membuka plastik buku. Dalam beberapa kesempatan ke toko buku, tampaknya penjaga toko buku bukanlah jenis manusia yang suka membaca sehingga sulit bagi mereka untuk menjelaskan kira-kira isi buku yang ada didalam sebuah plastik yang tidak boleh dibuka itu. Jarang sekali penjaga toko buku mempunyai kebiasaan membaca diluar waktu kerja. Umumnya, mereka menghadapi konsumen buku layaknya konsumen barang lain. Boleh jadi, mereka bersikap kaku kepada konsumen buku karena memang perilaku itu yang dituntut oleh pihak manajemen toko buku. Apalagi jika di jajaran manajemen itu ternyata tak satu pun orang yang punya kebiasaan membaca atau minimal memahami perilaku pembaca buku secara baik.

Oleh karena itu, memilih buku untuk dibaca kemudian sangat tergantung pada kemampuan diri sendiri dalam menebak isi buku atau menelisik isi buku. Kemampuan semacam ini sebenarnya bisa diasah jika kita punya kebiasaan rutin dan jeli dalam membeli atau membaca buku. Cobalah untuk agak sering datang ke toko buku, melihat berbagai perkembangan buku terbaru, membaca cermat judul-judul buku baru, membaca cermat bagian belakang cover buku dan sesekali ikut dalam bincang buku atau membaca resensi buku. Dari aktivitas sederhana ini mungkin pelan-pelan bisa terbentuk kemampuan untuk menimbang sebuah buku secara cepat. Dari kecepatan itu kemudian bisa muncul keputusan tepat untuk membeli buku atau sekadar ingin membacanya saja.

Rabu, 15 September 2010

Tentang Membaca Buku

Salah-satu aktivitas sehari-hari yang bisa dilakukan adalah membaca buku. Anda bisa memilih buku apa saja untuk dibaca, tapi cobalah untuk memilih buku yang sekiranya dapat memberi manfaat lebih pada kehidupan dan keseharian anda. Memang tidak mudah untuk menetapkan mana buku yang dapat memberi manfaat untuk anda kelak. Dibutuhkan waktu agak lama sembari mencari-cari satu diantara berjuta-juta judul buku yang tersedia baik di perpustakaan maupun di toko buku, untuk dibaca, dipahami dan buku itu mampu mengubah cara anda beraktivitas dan cara-pandang anda terhadap dunia. Namun, tidak ada salahnya pula jika anda meluangkan waktu untuk mencari buku sesuai minat anda. Apapun minat anda, tentu anda sendiri yang kelak akan merasakan manfaatnya. Termasuk dalam meminati jenis buku yang dibaca. Masalah minat ini bisa berubah-ubah. Ada yang menyebutkan bahwa minat itu sesuai situasi dan suasana. Oleh karena itu, buku yang dibaca pun sering berbeda-beda, dari waktu ke waktu. Kadang membaca buku serius menjadi minat, tapi di lain waktu justru perhatian anda tertuju pada buku-buku ringan. Kategorisasi buku serius atau ringan pun kadang juga dipertanyakan banyak orang, sebab buku berisi ulasan-ulasan filosofis pun bisa terbaca dengan enak tanpa harus mengernyitkan dahi manakala anda memang meminatinya. Sebaliknya, buku yang berisi kupasan ringan pun bisa membosankan karena susah dimengerti alur pembahasan dari penulisnya. Nah, kategori buku kemudian tentu menjadi hak anda untuk menilainya. Yang terpenting adalah aktivitas membaca anda tidak tertunda hanya karena anda lebih sibuk mengkategorisasi buku. Selain itu, yang perlu anda perhatikan ketikan hendak beraktivitas membaca adalah kesiapan anda dalam mengikuti uraian atau paparan dari penulisnya. Sebagai pembaca, anda sesungguhnya punya hak absolut untuk menilai isi buku sesudah tuntas membaca buku tersebut. Anda boleh sepakat dengan penulis, boleh berbeda pendapat dengan penulis, bahkan boleh pula mengkritik isi buku penulis. Itulah sebabnya mengapa ada ungkapan 'The Death of Author' dari kaum pasca-struktural. Menurut mereka, sesudah buku dituliskan, maka pembaca mempunyai kuasa absolut untuk menilai isi buku, tidak wajib mengikuti apa kemauan dan pendapat dari penulis dan penulis tidak punya hak untuk menjadi diktator dan isi buku yang ditulisnya wajib diikuti. Jika penulis memaksakan isi bukunya wajib disepakati oleh siapapun yang membaca buku tersebut, maka jelas tidak ada kemerdekaan pembaca untuk menilai. Dalam masyarakat yang menghargai pluralitas pendapat, tentu saja penulis diktator semacam itu sulit memperoleh tempat. Selain itu, pembaca sendiri tentu merasa berhak untuk menilai (judgement).
Jadi, membaca buku bukanlah aktivitas biasa, melainkan punya banyak sisi yang menarik untuk dieksplorasi. Membaca buku bukan sekadar rangkaian hubungan antara penulis-isi buku-pembaca, melainkan aktivitas membaca bisa mendadak jadi aktivitas yang mengungkap banyak hal, termasuk mengungkap se-demokratis apakah sebuah masyarakat yang sedang membangun peradaban. (rud)

Selasa, 14 September 2010

Dari Kami, Untuk Anda

Surabaya Book Review (SBR) merupakan wahana untuk mengajak anda ikut dalam keasyikan membaca dan menyelami dunia baca. Bukan sekadar membaca koran, majalah atau bacaan ringan, melainkan lebih dari itu, yakni membaca berbagai literatur yang bisa memperkaya khazanah pengetahuan diri sendiri, memahami lebih baik dan kemudian mentransformasikan kedalam kehidupan sehari-hari.  Dengan kerendahan hati, kami ingin mengajak anda, para penikmat dunia membaca buku, agar juga meluangkan waktu selain membaca buku, juga sebaiknya merefleksikan/mengomentari/mengkritisi isi sebuah buku yang sudah dibaca. Refleksi/komentar/kritik terhadap sebuah buku saat ini sering dipandang hanya sebagai kegiatan yang sulit dilakukan, bahkan banyak pula yang beranggapan bahwa kegiatan semacam itu hanya bertujuan mengisi waktu iseng sesudah tuntas membaca sebuah buku. Padahal, jika kita melakukan kegiatan itu, justru banyak sekali nilai tambah yang kita peroleh. Apabila kegiatan membaca itu acap disebut sebagai kegiatan pasif, maka kegiatan meresensi/mereview/merefleksi/mengomentari/mengkritisi sebuah buku jelas merupakan kegiatan aktif. Sebab, untuk meresensi dengan baik, maka seorang peresensi dituntut membaca tuntas buku yang hendak diresensi sekaligus memahami isinya dan melihat sisi menarik dari buku dan celah yang bisa ditutup dari paparan yang mungkin kurang elok dari penulis buku. Pada gilirannya, baik pembaca buku maupun penulis buku tentu memperoleh manfaat dari aktivitas review/resensi/komentar/kritik buku.
Terdapat berbagai macam jenis bacaan yang bisa dirujuk dalam upaya memperluas horizon pandangan hidup. Jangan takut pada buku bacaan hanya karena buku itu terlampau tebal atau terlalu berat isinya untuk dipahami. Cobalah untuk pelan-pelan mengikuti alur berpikir penulis buku yang biasanya dituangkan pada halaman-halaman awal, usahakan untuk tidak membuat jeda membaca terlalu lama. Sebab, jeda yang agak lama tentu akan mengganggu proses penyerapan alur paparan dari buku. Nah, di SBR, kami berupaya untuk bisa membincangkan apa dan bagaimana isi sebuah buku sehingga mampu memberi nilai tambah bagi perjalanan keseharian kita. Untuk ikut dalam aktivitas diskusi buku tentu tidaklah harus mereka yang berlatarbelakang khusus atau mereka yang berasal dari dunia akademis. Melainkan, diskusi buku atau bincang buku akan membawa manfaat besar jika siapapun tanpa memandang latarbelakang, mau dan berminat ikut dalam membincang sebuah buku yang telah dibacanya. Syukur-syukur, jika dari diskusi atau bincang buku itu, lalu kemudian ada yang menuliskannya ke media cetak atau menindaklanjutinya membincang di media elektronik...SBR hanya menjadi sarana untuk mendorong agar aktivitas membaca menjadi sebuah lifestyle, sebagaimana dulu para bapak bangsa Indonesia sudah melakukannya dengan baik. Terima-kasih.