Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Selasa, 21 September 2010

Salah-satu Contoh Resensi...

Mengkritisi Strategi Penataan Birokrasi Berbasis IT

Judul buku    : The Information Revolution and Developing Countries
Pengarang    : Ernest J. Wilson III
Penerbit        : The MIT Press, AS
Cetakan        : Pertama, April 2009
Tebal        : xiv + 431 halaman

Penggunaan Information Technology (IT) di negara-negara berkembang sudah semakin pesat dan memasuki berbagai kebutuhan. Termasuk di Indonesia, khususnya di Surabaya, pemaikaian perangkat canggih berteknologi komputer jejaring itu sudah mulai dirancang sejak memasuki tahun 2000, ketika pemanfaatan komputer semakin merata. Pemerintah daerah, semisal Pemkot Surabaya, semakin menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat terhadap pemakaian IT agar bisa menjadikan kerja-kerja birokrasi lebih efektif dan efisien dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Studi-studi akademis mengenai dampak IT di negara berkembang pun semakin marak. Salah-satu studi yang fokus pada dampak pemanfaatan IT itu dilakukan oleh penulis buku ini, yang ingin melihat bagaimana dampak sekaligus efektivitas birokrasi di negara berkembang tatkala nyaris semua lini pekerjaan didalam birokrasi sudah terkomputerisasi. Pekerjaan birokrasi memang bisa dipermudah dan dipersingkat melalui penggunaan teknologi informasi, namun untuk sampai pada derajat mengembangkan kemampuan pemanfaatan teknologi itu tentu dibutuhkan sumberdaya manusia yang mumpuni. Oleh karena itu, bagi banyak negara berkembang, SDM di bidang teknologi informasi harus benar-benar dipersiapkan sebelum mengganti semua lini birokrasi dengan pekerjaan berbasis IT.

Untuk menelusuri bagaimana persiapan birokrasi negara berkembang tersebut, penulis buku yang juga gurubesar di bidang ilmu pemerintahan dan politik Universitas Maryland, AS ini memaparkan pemetaan, deskripsi masalah, kerangka analisis, aplikasi IT di tiga negara berkembang, yakni Brazil, Ghana dan China, kemudian ia masuk kedalam analisis seputar revolusi teknologi informasi. Semuanya terangkum kedalam delapan bab, dimulai pada bab awal, dimana penulis sudah menggunakan bingkai analisis ‘strategic restructuring’ (strategi penataan kembali). Bingkai ini merupakan model arsitektur terbuka yang terdiri dari empat determinan berbeda. Pertama, struktur sosial, ekonomi dan politik. Kedua, institusi yang memprakarsai sistem IT, seperti peranannya dan insentif yang diberikan. Ketiga, perilaku strategis elit politik yang mendorong pemberlakuan sistem IT. Keempat, kebijakan pemerintahan, contohnya kompetisi atau monopolistik, asing atau domestik, sentral atau desentralistik. 

Penulis buku ini mengkonseptualisasikan IT, atau ICT (Information Communication Technology), sebagai kekuatan potensial sebagaimana kapital dan tanah. Sejarawan Inggris Eric Hobsbawm menyebutkan, bahwa abad ke-19 merupakan abad kapital. Siapa yang menguasai kapital, maka ia akan menguasai berbagai jalur di pemerintahan, bisnis maupun masyarakat. Memasuki abad 20, mulai terjadi pergeseran ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi menjadi bagian penting dari hajat hidup orang banyak. Maka, muncul paradigma baru, bahwa menguasai IT berarti juga menguasai hajat hidup masyarakat luas. Bahkan penguasaan itu bukan hanya sekadar melayani masyarakat, melainkan juga mengarahkan masyarakat kepada sasaran tertentu. Masyarakat modern yang tergantung pada ICT tidak bisa lagi bebas karena sudah diikat oleh penataan-penataan yang dibuat berdasarkan aplikasi perangkat lunak yang memudahkan sekaligus mempercepat kerja.

Pemerintah tiga negara berkembang memang sangat berminat mengadaptasikan penggunaan ICT untuk masyarakat dan dunia bisnis. Namun, diawal buku, penulis justru terlebih dulu mengurai bagaimana kota ajaib Bangalore, India, bisa berkembang pesat tatkala ICT mulai memasuki kehidupan warga (hlm 63). Sebagaimana layaknya masyarakat negara berkembang, para penduduk Bangalore umumnya adalah masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi, kebiasaan serta adat. Hubungan satu warga dengan warga lainnya sudah terjalin dengan baik serta diikat oleh rasa saling percaya satu sama lain. Dari keseharian ini kemudian muncul fenomena jejaring sosial yang mengiringi jejaring teknologi. Warga mulai keluar dari kehidupan eksklusif di masa lalu yang berdasar adat-kebiasaan dan hubungan darah, menuju kepada keseharian inklusif, dimana warga dari aneka latarbelakang profesi membangun sikap saling mempercayai. Kenyataan ini tidak tampak di daerah-daerah lain di India atau juga tak terlihat pada nyaris semua negara berkembang. Sebaliknya, kenyataan di Bangalore itu terlihat juga pada masyarakat di Boston dan San Francisco, AS. Itulah inti ‘keajaiban Bangalore’, yakni tatkala social capital muncul seiring dengan peresapan teknologi ICT.

Tingkat keterserapan ICT di negara berkembang mempunyai korelasi pada kesiapan memasuki sistem global. Sebab, hampir semua sisi hubungan internasional lintas negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan ICT. Melalui penggunaan ini, kemudian pelan namun pasti telah terjadi perubahan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ketika ICT mulai menjadi bagian dari keseharian di Cina, maka demam internet dari masyarakat menjadi tak terhindarkan sehingga Partai Komunis Cina (PKC) mulai terkena dampak. Jika sebelum era internet, masyarakat Cina begitu mudah ditundukkan oleh kekuasaan para pengurus PKC, sebaliknya, ketika ICT mewabah, masyarakat pun tak mudah percaya begitu saja terhadap PKC. Akan tetapi, pengaruh penggunaan ICT di Brazil justru semakin memperkuat posisi pemerintah, ketika upaya-upaya peningkatan produk domestik digalakkan secara besar-besaran satu dekade silam. Sementara di Ghana, pemerintah melakukan strategi penataan kembali melalui dominasi terhadap semua sektor dimana ICT memainkan peranan penting. Melalui penataan ini, pemerintah Ghana kemudian mendorong terciptanya kediktatoran lunak gaya khas politik Afrika yang patrimonial.       

Pemaparan penulis buku ini tentang pengalaman tiga negara berkembang analog dengan pengalaman masyarakat Surabaya yang mulai menggunakan PSB online, e-procurement atau e-budgeting  untuk mempermudah kinerja birokrasi. Namun, tetap ada kendala yang harus dihadapi masyarakat. Pertama, menyangkut kesiapan sistem IT yang digunakan. Kesiapan ini tentu harus dikaitkan dengan kesadaran birokratik , bahwa elit birokrasi merupakan pelayan masyarakat sehingga wajib menunjukkan pelayanan prima. Kedua, strategi penataan kembali pelayanan untuk masyarakat sangat terkait pada perilaku politik dari elit. Jika elit politik berperilaku sembarangan, maka akan terjadi kesemrawutan penggunaan sistem IT.
* * *
(Peresensi adalah Koordinator Surabaya Readers Club, Surabaya)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar