Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Selasa, 21 September 2010

Menimbang Langkah Reformasi Radikal

Judul buku    : Radical Reform, Islamic Ethics and Liberation
Pengarang    : Tariq Ramadan
Penerbit        : Oxford University Press,
Cetakan        : Pertama, Mei 2009
Tebal             : 372 halaman

Tariq boleh dikatakan bukan sosok macam ‘like father, like son’. Walau ia adalah keturunan aktivis radikal Ikhwanul Muslimin, Said Ramadan yang diasingkan pemerintah Mesir ke Swiss, namun Tariq jauh dari kesan penampilan sangar. Tariq justru dibesarkan dalam paduan antara tradisi intelektual Eropa yang kritis dan lingkungan keluarga muslim imigran asal Mesir yang taat. Ia tumbuh dalam lingkungan hibrida, antara Islam dan Eropa, jantung pencerahan. Sebagai akademisi Eropa di bidang kajian Islam (Islamic Studies) saat ini, Tariq mengajar di beberapa kampus ternama, selain ia juga terlibat aktif dalam perdebatan intelektual di forum-forum ilmiah.

Tariq menolak anggapan umum, bahwa seorang muslim yang datang ke Eropa lalu menetap di benua, tetap disebut sebagai orang asing. Sebaliknya, Tariq berpandangan bahwa dimanapun muslim telah menetap lama hingga beranak-cucu menjadi warganegara di salah-satu negara Eropa, maka ia berhak untuk menyatakan dirinya sebagai bagian dari sebuah bangsa. Jika ia sudah berwarganegara Eropa sejak beberapa generasi, maka ia berhak meneguhkan dirinya sebagai muslim Eropa (European muslim), bukan muslim di Eropa (muslim in Europe). Salah-satu hak dasar warganegara adalah pengakuan bahwa dirinya adalah bagian sebuah bangsa dari negara dimana ia berada.

Buku ini merupakan sekuel pemikiran Tariq yang ingin membebaskan kajian-kajian keislaman kontemporer dari penafsiran kaku, agar bisa mengikuti perkembangan kajian keilmuan, pengetahuan dan filsafat. Layaknya hasil sebuah riset panjang dan refleksi mendalam atas keberadaan komunitas Islam serta karya-karya kajian keislaman yang sudah ada, Tariq mengurai pemikirannya menjadi tiga buku sebelumnya. Buku pertama Tariq berjudul ‘To Be a European Muslim’ yang menegaskan teks yang tak bisa diubah dan apa yang sedang berubah. Pada buku kedua bertajuk ‘Western Muslims and the Future of Islam’, Tariq mulai menukik pada persoalan-persoalan nyata, seperti komitmen politik, pendidikan, sosial, yang dihadapi kaum muslim di dunia Barat. Sedangkan dalam buku ketiga ‘Islam, the West and the Challenges of Modernity’, intelektual ini mempertanyakan posisi kaum muslim dihadapan keaneka-ragaman modernitas.  

Untuk lebih mempertegas metodologi riset, upaya pembebasan dari kekakuan penafsiran serta menawarkan reformasi radikal, Tariq kemudian menuliskan buku keempat ini. Buku ini memuat 12 bab dalam empat bagian. Pada bagian pertama, penulis menyatakan pentingnya reformasi penafsiran yang tidak terjebak kedalam pembacaan teks-teks hukum belaka. Tariq menawarkan jalan reformasi radikal bertumpu pada etika individu dan masyarakat. Seluruh bangunan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan juga bertumpu pada etika. Persoalannya, etika terlalu sering disejajarkan semata pada prinsip-prinsip tertentu yang memisahkan kehidupan individual dan publik, sebagaimana lazim dipahami orang awam terhadap proses sekularisasi. Bagi Tariq, sekularisasi bukan berarti meminggirkan moral, melainkan sekularisasi lebih terkait pada derajat otoritas.

Memasuki bagian kedua yang mencakup empat bab, Tariq segera mengevaluasi karya-karya standar kajian keislaman, baik klasik maupun kontemporer. Setelah mengurai pendekatan deduktif Imam Syafii, pendekatan induktif Imam Hanafi serta kemustahilan memutus teks suci dari konteks implementasi praktis, Tariq kemudian membuat sebuah sintesis (hlm 77-83).  Menurutnya, saat ini permasalahan kaum muslim sudah keluar dari wilayah geografis Timur Tengah, Afrika Utara atau negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Permasalahan mendasar umat muslim terkait kemanusiaan dan lingkungan saat ini justru muncul di negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya non-muslim. Selama ini, penafsiran terhadap teks suci yang dilakukan para penafsir otoritatif yang diakui oleh mayoritas muslim ternyata kurang membumi ketika berhadap dengan permasalahan di negara-negara Barat.

Tariq menegaskan, bahwa etika individual dan publik muncul ketika seorang penafsir sangat tahu apa yang sedang dihadapi masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Etika tersebut memang tersirat didalam karya-karya para imam yang dirujuk mayoritas muslim di wilayah geografis Islam, namun disadari atau tidak, etika tersebut sangat terkait dengan budaya, cara pandang serta peri-kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, jalan pembebasan etika harus mencermati bagaimana budaya keseharian, cara pandang serta lingkungan dimana masyarakat berada.  

Untuk menegaskan, jalan pembebasan ala Tariq itu berdasarkan pada tiga proposisi yang kemudian ditawarkan pada kajian keislaman, baik di Barat maupun Timur. Pertama, Tariq terlebih dulu membuat perbedaan reformasi adaptif dan reformasi transformatif. Reformasi adaptif membutuhkan ajaran agama, filosofis dan hukum kedalam evolusi masyarakat, ilmu pengetahuan dan dunia. Namun, reformasi transformatif bertujuan secara aplikatif menggunakan perangkat spiritual, intelektual dan ilmiah untuk mengantisipasi kompleksitas permasalahan sosial, politik, filosofis dan tantangan etika. Proposisi kedua, isi serta konteks geografis sumber-sumber hukum Islam juga perlu dipertimbangkan.

Produk hukum yang didalamnya mengandung etika merupakan sublimasi pemikiran sang penafsir terhadap budaya, cara-pandang serta keseharian masyarakat dimana ia berada. Hal ini membawa Tariq pada proposisi ketiga, bahwa pusat perhatian dalam rangka membangkitkan etika untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan dogma sempit kini sudah bergeser dari kawasan muslim ke kawasan mayoritas non-muslim. Tentu saja, persoalan yang dihadapi pun jauh lebih majemuk sehingga dibutuhkan kerjasama antara para pengkaji teks sumber Islam dengan para sarjana disiplin ilmu lain.

Bagi masyarakat muslim di Indonesia, tawaran Tariq ini tentu bukan barang baru. Sebab, jalan pembebasan etika Tariq mungkin sama dengan jalan pembumian Islam konteks Indonesia, seperti dipelopori Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid. Lalu, perkara kerjasama antar sarjana agama dan sarjana non-agama, juga sudah dilakukan oleh ormas-ormas keislaman sebelum mereka berpendapat atau menjawab suatu permasalahan. Namun demikian, posisi Tariq yang lahir dari keluarga imigran di lingkungan masyarakat sekular Eropa, mungkin menjadikan buku ini layak untuk disimak. Setidaknya, ada perbandingan, antara proses pembumian Islam di Indonesia dan upaya membumikan Islam di Eropa dan Barat.
* * *
(Diresensi oleh Surabaya Readers Club dan telah dimuat Majalah Tempo )
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar