Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Realita Jihad itu Bersifat Fluktuatif dalam Sejarah Muslim



Judul Buku    : Partisans of Allah, Jihad In South Asia
Pengarang     : Ayesha Jalal
Penerbit       : Harvard University Press, AS
Tebal            : xvii + 373 halaman
Cetakan        : Pertama, 2008

----------------------
PERJALANAN kelompok jihadis sering menjadi bahan sorotan publik dan media. Belakangan, sorotan itu semakin meningkat setelah AS berhasil masuk ke wilayah Pakistan dan melakukan serangan mendadak kepada dedengkot al Qaeda, Osama bin Laden. Selanjutnya, AS menerapkan perang lawan teror dengan melibatkan jet tempur tak berawak yang akrab disebut 'drone'. Hasilnya, sejumlah tokoh organisasi radikal di Yaman, Somalia dan beberapa tempat lain, tewas karena serangan 'drone' itu.
-------------------------------

Buku ini hendak menguraikan bagaimana konsep jihad juga tumbuh subur di Asia Selatan. Riset yang dilakukan oleh penulis buku itu memang bertujuan menunjukkan bagaimana liku-liku pertumbuhan kelompok-kelompok jihadis itu, yang boleh jadi tak terintegrasi dengan kelompok serupa di Arab Saudi, Bahrain, Yaman atau Somalia.

Ayesha Jalal menggeser kronik wacana tentang jihad di Asia selatan lebih dari tiga abad lalu - ia menempatkan penyair, politisi, pendidik, mistikus dan prajurit dalam satu bingkai. Dalam paparan sebanyak enam bab, Jalal mengupas bagaimana konsep jihad itu teraplikasikan dalam keseharian di Asia Selatan, bahkan merasuki mereka yang bekerja di sektor-sektor yang jauh dari pertempuran atau peperangan. Mereka bekerja demi kepasrahan hidupnya kepada konsep yang diyakininya benar, selain tentunya mereka bekerja untuk memperoleh penghasilan.

Uraian dalam buku ini menunjukkan bahwa sejarah komunitas Islam di Asia Selatan memperlihatkan bahwa kehidupan sehari-hari yang dijalani masyarakat di kawasan itu tak harus mempermasalahkan perbedaan agama. Seorang jihadis, yang menerapkan prinsip-prinsip jihad dan berpegang teguh pada komitmen keagamaannya, ternyata bisa tetap menghormati tata susila pergaulan, kesopanan dan kesantunan. Jalal hendak menyatakan bahwa keyakinan pada jihad bukanlah kemudian menjadikan seorang muslim mendadak jadi sangat emosional, gampang marah dan mudah melontarkan tuduhan.

Situasi yang digambarkan oleh Jalal sangat jauh dengan kenyataan komunitas muslim yang hidup di jazirah Arab pada periode abad pertengahan, ketika kolonialisasi juga mewabah di kawasan tersebut. Ironinya, diskusi-diskusi tentang konsep Islam selama ini selalu berputar-putar pada kenyataan di dunia Arab. Jalal membuat kasus yang menarik untuk memperhatikan Asia selatan, di mana minoritas Muslim telah memiliki hubungan panjang dan kompleks dengan komunitas lain - sehingga bisa digunakan untuk melihat setiap periode sejarah pergeseran ide jihad .

Ia menggambarkan bagaimana proses interaksi antara muslim dan non-muslim terjadi, tanpa ada rasa tidak suka. Dalam kondisi masyarakat yang masih memandang status sosial, jelas basis rujukan masyarakat adalah status sosial, bukan pada perbedaan latarbelakang keagamaan. Para saudagar atau pengusaha muslim begitu intens menjalin kemitraan dengan rekan-rekan bisnisnya di Asia Selatan, meski latarbelakang para rekan bisnis itu tidak harus muslim.

Satu hal yang pasti, buku Partisans Allah ini membuat jelas bahwa wacana keagamaan dalam Islam sangat berfluktuasi, dan terjalin dengan geopolitik.

Selama pemerintahan kolonial, pada periode pasca-1857, diskusi tentang jihad berbentuk untuk memenuhi kebutuhan Muslim India untuk membuktikan status mereka sebagai warga negara yang setia. Perhatian yang signifikan diberikan pada perintah yang hanya dapat diperjuangkan ketika kaum Muslim dilarang mempraktekkan agama mereka secara bebas.

Namun dalam tahun-tahun awal abad ke-20, jihad didefinisikan kembali untuk mengambil tempatnya dalam nasionalisme anti-kolonial. Dua tokoh terkemuka yang mengambil jalan sangat berbeda selama periode ini adalah: Abul Kalam Azad yang menjadi anggota Gandhi dan Nehru yang sekuler dalam Kongres Nasional India, sementara Maulana Maududi adalah pendiri Jamaat-e-Islami, yang melanjutkan untuk bermain peran penting dalam sejarah politik Pakistan.

Ini sangat menarik untuk membaca bagaimana ide-ide garis keras Maududi dikembangkan dari gagasan bahwa Islam telah difitnah sebagai "agama pedang" oleh dunia barat yang semakin berpengaruh dan militeristik yang mengendalikan produksi pengetahuan.

Mereka yang memandangnya hanya sebagai satu atau dua langkah menjauh dari kaum militan saat ini dengan melewatkan satu perbedaan penting - Maududi percaya itu adalah tugas negara, bukan individu, untuk menyatakan jihad. Penafsiran radikal kontemporer, dalam menyatakan itu masalah hati nurani individu, adalah "tidak paralel dalam tradisi Islam". Buku ini bukan merupakan kompilasi apologi pada konsep jihad, namun paparan historis di dalamnya bisa memberi gambaran utuh bagaimana jihad itu berfluktuasi dalam sejarah umat Islam.
(Peresensi: Rosdiansyah, pegiat Surabaya Readers Club)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar