Selamat Membaca SBR

Untuk anda, para pembaca situs blog ini, semoga ada manfaat yang bisa anda dapatkan. Silakan tulis komentar anda dibawah. Saran dan kritik sangat kami tunggu.

Minggu, 16 Februari 2014

Telik Sandi dalam Jual-Beli Informasi



Judul Buku     : Trading Secrets
Pengarang      : Mark Huband
Penerbit          : IB Tauris, London
Cetakan          : Pertama, Desember 2013
Tebal               : xii + 259 halaman

PENYADAPAN bukan perkara enteng. Jangan pula dientengkan. Ini perkara serius, sebab hasil penyadapan merupakan informasi bernilai tinggi. Bukan informasi biasa, tapi informasi dari sumber langsung berkualifikasi rahasia. Tak sembarang orang bisa tahu informasi itu. Apalagi, informasi yang berkaitan langsung dengan apa yang bakal terjadi. Itulah yang membuat informasi produk penyadapan beda dari informasi biasa.

Ibarat harga barang langka, nilai jual informasi hasil penyadapan sangat tinggi. Bukan cuma negara yang butuh itu, perusahaan multinasional pun ingin beli. Tujuannya, jelas untuk antisipasi jika isi informasi tersebut jadi kenyataan. Negara penyadap informasi mencurahkan anggaran luar-biasa besar untuk merakit teknologi canggih demi memperoleh informasi 'A1'. Bagi negara-negara ini, informasi itu bisa menjadi rujukan dalam berdiplomasi. 

Selama perang dingin, dedengkot penyadapan adalah lembaga intelijen, seperti CIA dan MI6. Lembaga ini melahirkan beragam teknik, taktik dan strategi penyadapan. Pengembangan teknologi penyadapan juga berkembang pesat. Alat telik sandi itu harus diletakkan sedekat mungkin ke sumber penting. Untuk itu, dibutuhkan 'orang dalam' yang bisa menaruh alat itu, tanpa dicurigai. Anggaran lembaga-lembaga intelijen barat pun tanpa batas, sebab perlu membayar 'orang dalam' tersebut. 


Prinsipnya, setiap orang ada harganya, jadi tiap informasi 'A1' juga ada biayanya. CIA dan MI6 sudah menjadi penyadap atau pembeli informasi itu sejak lama. Transaksi sering pula dilakukan dengan 'orang dalam'. Cara lain adalah menyusupkan agen ke dalam organisasi teroris, lalu mencuri informasi di dalamnya. Nyaris seluruh gerakan terorisme internasional tak ada yang luput dari modus obok-obok informasi ini. 

Kantor-kantor intelijen sangat tahu, organisasi teroris rawan perpecahan internal. Tentu ada faksi yang kadang berseberangan dengan faksi lain. Salah-satu faksi ini jelas bisa digarap. Dipengaruhi, lalu disuruh mencuri data. Dari faksi ini, informasi mengalir deras diantaranya ke MI6. Inggris punya pengalaman lama mengelola konflik dalam gerombolan teroris Irlandia Utara. 

Akan tetapi, situasi berubah ketika anggota al Qaeda tidak mengenal prinsip memperdagangkan informasi. Para anggota al Qaeda atau organisasi afiliasinya, terlalu militan. Tak gampang dicuci-otak, apalagi disogok atau diiming-iming. Mentalitas ini tentu mengejutkan bagi dinas-dinas telik sandi Barat (hlm 98). Meski kemudian mereka tahu dari pengalaman Sovyet di Afghanistan, kelompok al Qaeda dan Taliban tak mengenal tukar-menukar informasi. 

Akibatnya, sepanjang awal abad 21, CIA dan MI6 mengalami krisis pasokan informasi. Walaupun CIA sering disebut-sebut sebagai biro intelijen yang mengadakan kontak intensif dengan al Qaeda selama perang Afghanistan. Kontak tersebut lebih pada upaya koordinatif menghadapi pasukan Uni Sovyet. Bukan saling tukar informasi, apalagi jual-beli informasi bernilai tinggi.  

Kini, kian banyak bekas agen intelijen yang masuk ke perusahaan-perusahaan swasta. Mereka tak lagi terikat sumpah jabatan, dan bisa menggunakan ketrampilannya untuk klien. Dalam mekanisme pasar, klien adalah segalanya. Klien percaya pada perusahaan penyedia jasa informasi analisa resiko, jika analisa itu berdasar fakta lapangan. Jika analisa tak berdasar, klien bisa kabur. Masalah tentu muncul manakala klien itu punya kedekatan pada organisasi teroris, seperti al Qaeda. Hal tersebut tak dielaborasi dalam buku ini.

Penulis buku ini adalah jurnalis investigatif asal Inggris yang sangat berpengalaman. Terutama, untuk urusan dengan para intel dan sejenisnya. Ia bergaul lama dengan komunitas telik sandi, termasuk para bekas teroris yang insaf. Wajar jika penulis buku kemudian menjadi sangat memahami perdagangan informasi di antara mereka. ***

(peresensi alumni ISS Belanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar