Judul Buku : Trading Secrets
Pengarang : Mark Huband
Penerbit : IB Tauris, London
Cetakan : Pertama, Desember 2013
Tebal :
xii + 259 halaman
PENYADAPAN bukan perkara enteng. Jangan
pula dientengkan. Ini perkara serius, sebab hasil penyadapan merupakan
informasi bernilai tinggi. Bukan informasi biasa, tapi informasi dari sumber
langsung berkualifikasi rahasia. Tak sembarang orang bisa tahu informasi itu.
Apalagi, informasi yang berkaitan langsung dengan apa yang bakal terjadi.
Itulah yang membuat informasi produk penyadapan beda dari informasi biasa.
Ibarat harga barang langka, nilai jual
informasi hasil penyadapan sangat tinggi. Bukan cuma negara yang butuh itu,
perusahaan multinasional pun ingin beli. Tujuannya, jelas untuk antisipasi jika
isi informasi tersebut jadi kenyataan. Negara penyadap informasi mencurahkan
anggaran luar-biasa besar untuk merakit teknologi canggih demi memperoleh
informasi 'A1'. Bagi negara-negara ini, informasi itu bisa menjadi rujukan dalam
berdiplomasi.
Selama perang dingin, dedengkot
penyadapan adalah lembaga intelijen, seperti CIA dan MI6. Lembaga ini
melahirkan beragam teknik, taktik dan strategi penyadapan. Pengembangan
teknologi penyadapan juga berkembang pesat. Alat telik sandi itu harus
diletakkan sedekat mungkin ke sumber penting. Untuk itu, dibutuhkan 'orang
dalam' yang bisa menaruh alat itu, tanpa dicurigai. Anggaran lembaga-lembaga
intelijen barat pun tanpa batas, sebab perlu membayar 'orang dalam' tersebut.
Prinsipnya, setiap orang ada harganya,
jadi tiap informasi 'A1' juga ada biayanya. CIA dan MI6 sudah menjadi penyadap
atau pembeli informasi itu sejak lama. Transaksi sering pula dilakukan dengan
'orang dalam'. Cara lain adalah menyusupkan agen ke dalam organisasi teroris,
lalu mencuri informasi di dalamnya. Nyaris seluruh gerakan terorisme
internasional tak ada yang luput dari modus obok-obok informasi ini.
Kantor-kantor intelijen sangat tahu,
organisasi teroris rawan perpecahan internal. Tentu ada faksi yang kadang berseberangan
dengan faksi lain. Salah-satu faksi ini jelas bisa digarap. Dipengaruhi, lalu
disuruh mencuri data. Dari faksi ini, informasi mengalir deras diantaranya ke
MI6. Inggris punya pengalaman lama mengelola konflik dalam gerombolan teroris
Irlandia Utara.
Akan tetapi, situasi berubah ketika
anggota al Qaeda tidak mengenal prinsip memperdagangkan informasi. Para anggota
al Qaeda atau organisasi afiliasinya, terlalu militan. Tak gampang dicuci-otak,
apalagi disogok atau diiming-iming. Mentalitas ini tentu mengejutkan bagi
dinas-dinas telik sandi Barat (hlm 98). Meski kemudian mereka tahu dari
pengalaman Sovyet di Afghanistan, kelompok al Qaeda dan Taliban tak mengenal
tukar-menukar informasi.
Akibatnya, sepanjang awal abad 21, CIA
dan MI6 mengalami krisis pasokan informasi. Walaupun CIA sering disebut-sebut
sebagai biro intelijen yang mengadakan kontak intensif dengan al Qaeda selama
perang Afghanistan. Kontak tersebut lebih pada upaya koordinatif menghadapi
pasukan Uni Sovyet. Bukan saling tukar informasi, apalagi jual-beli informasi
bernilai tinggi.
Kini, kian banyak bekas agen intelijen
yang masuk ke perusahaan-perusahaan swasta. Mereka tak lagi terikat sumpah
jabatan, dan bisa menggunakan ketrampilannya untuk klien. Dalam mekanisme
pasar, klien adalah segalanya. Klien percaya pada perusahaan penyedia jasa
informasi analisa resiko, jika analisa itu berdasar fakta lapangan. Jika
analisa tak berdasar, klien bisa kabur. Masalah tentu muncul manakala klien itu
punya kedekatan pada organisasi teroris, seperti al Qaeda. Hal tersebut tak
dielaborasi dalam buku ini.
Penulis buku ini adalah jurnalis
investigatif asal Inggris yang sangat berpengalaman. Terutama, untuk urusan
dengan para intel dan sejenisnya. Ia bergaul lama dengan komunitas telik sandi,
termasuk para bekas teroris yang insaf. Wajar jika penulis buku kemudian
menjadi sangat memahami perdagangan informasi di antara mereka. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar